Ibu Kota
Jakarta sudah menggelar pesta demokrasi [Pemilukada]. Enam pasangan Cagub-Cawagub
DKI yang bertarung 11 Juli lalu dimenangi oleh pasangan nomor urut tiga
Jokowi-Ahok menurut perhitungan cepat [quick
count] dan sepertinya memang akan menang menurut perhitungan KPUD DKI yang
fix pada 20 Juli nanti. Tetapi kemenangan itu, tidak mencukupi batas 50 persen
suara.
Sebelumnya,
pasangan cagub-cawagub yang dinggulkan adalah pasangan nomor urut satu
Foke-Nara. Foke yang gubernur petahana ini maju sebagai incumbent didampingi oleh Nacrohwi Ramli dari partai Demokrat diunggulkan
dalam prediksi semua lembaga survei sebelum pemilihan.
Pertanyaannya,
kenapa Jokowi-Ahok bisa mematahi prediksi itu dan mengungguli Foke-Nara? Nah,
Ada banyak jawaban, analis, atau apalah namanya yang menjadi kunci sukses
pasangan nomor urut tiga itu yang diungkapkan oleh para pengamat atau bahkan
dari Jokowi sendiri. Seperti solidnya gerakan dari bawah sampai atas tim sukses
Jokowi-Ahok diungkapkan oleh Jokowi sendiri, kemudian masyarakat Jakarta yang
sudah jenuh dengan kebijakan Gubernur sebelumnya yang tidak bisa mengatasi
masalah utama di Jakarta yaitu banjir dan kemacetan sehingga masyarakat mau
perubahan dan penerapan kebijakan baru maka yang dipilih adalah pasangan
Jokowi-Ahok.
Toto Izul
Fatah dari Lingkaran Survei Indonesia mengatakan bahwa Foke yang terlalu
optimis memenangkan pertarungan, sehingga meremehkan strategi “social imagery” yang merakyat yang diterapkan
oleh Jokowi. Burhanudin Muhtadi pengamat politik dan peneliti dari Lembaga
Survei Indonesia juga mengatakan kalau Jokowi adalah sosok kesayangan media [media darling] sehingga awak media mudah
untuk mempublikasikannya. Masih banyak lagi analis-analis yang dipaparkan oleh
pengamat yang menjadi kunci sukses Jokowi-Ahok.
Sebenarnya,
ada satu analis yang menurut penulis sangat menarik. Analis itu diungkapkan
oleh Prof. Thamrim Tamagola ketika di acara Apa Kabar Indonesia Malam Tvone
[12/7] lalu. Bahwa citra pemimpin yang dipilih oleh rakyat adalah citra
pemimpin yang alami. Yang alami menurut Thamrin adalah ketika berbaur dengan
rakyat tidak ada perbedaan yang mencolok antara dia yang leader dan rakyat yang under.
Maksudnya dari segi penampilan sama dengan rakyat yang tergambar dari bentuk
wajah, tubuh, pakaian Jokowi layaknya kaum under itu.
Kalau melihat bentuk
wajah, jujur penulis katakan bahwa bentuk wajah Jokowi tidak cocok untuk wajah
seorang pemimpin, wajah Jokowi adalah wajah kaum under. Dari segi bentuk tubuh
yang kurus krempeng juga tidak terlihat wibawanya seorang pemimpin. Paradigma
kita adalah bahwa seorang pemimpin mesti memiliki tubuh yang besar tinggi,
tegap atau bahkan gemuk. Dari segi pakaian, Jokowi layaknya rakyat miskin yang
tidak mampu membeli pakain model terbaru atau mewah. Dia hanya memakai pakaian
jenis kemeja yang berstandar pasar loak.
Ketika Foke
atau Alex Nurdin keluar dari bus atau busway atau ke pasar tradisional tampak
sekali perbedaan baik dari cara komunikasi, penampilan dengan masyarakat,
tetapi coba bandingkan dengan Jokowi atau Biem, ketika ke pasar atau menumpang oplet
tampak sangat menyatu dengan penampilan rakyat. Selain dari penampilannya yang
under itu, Jokowi juga sosok yang mempunyai nilai lebih untuk melakukan
perubahan. Tergambar dari sepak terjangnya sebagai Walikota Solo yang berhasil
menata kota dan merelokasi PKL tanpa kekerasan dan tepat sasaran serta
penentang kebijakan “atasannya” [Gubernur Jateng] yang akan membangun pusat
perbelanjaan yang berimbas pada pedagang pasar tradisional. Memang, untuk
mengubah kota Jakarta yang bebas macet dan banjir bukanlah perkara mudah,
tetapi setidaknya harapan warga Jakarta ada pada sosok Jokowi.
Seperti
Jakarta, Kalimantan Barat juga akan menggelar pesta demokrasi. Ada dua agenda
di Kalbar, yaitu Pilgub dan Pilwako Singkawang. Dua agenda besar itu akan
dilaksanakan pada bulan September nantinya dan bersamaan dengan putaran kedua
Pilgub DKI yakni pada 20 September. Saat ini, Pilgub Kalbar sudah
mencapai tahapan proses tes kesehatan. dan kandidat yang akan bertarung ada empat pasangan balon Cagub-Cawagub. Sama halnya dengan Pilgub, Pilwako
Singkawang pun juga sudah sampai pada tahapan tes kesehatan dan balon Wako-Wawako yang akan berjibaku berjumlah empat
pasangan juga.
Baik sesudah
maupun sebelum penetapan balon, para “gladiator” itu sudah mulai menebar pesona
untuk menggaet hati rakyat. Terlihat dari poster, baliho yang terpajang di
pinggir jalan. Incumbent adalah
posisi yang paling strategis dalam penerapan strategi pemenangan. Dia seperti
leluasa menggunakan kebijakannya untuk selalu berdekatan dengan rakyat. Tetapi
juga incumbent bukannya tidak mempunyai kelemahan. Bisa saja kebijakan yang
incumbent terapkan selama ini tidak tepat sasaran dan memungkinkan
konstituennya alias rakyat pemilih berpaling kepada pasangan lain. Ini ibarat
buah simalakama, sama halnya yang terjadi pada Foke.
Lain ladang,
lain belalangnya, itulah yang menggambarkan kondisi pemilih antara DKI dengan
Kalbar. Di Jakarta tingkat heterogenisitasnya sangat tinggi, ini dikarenakan
Jakarta adalah Ibu Kota Negara. Sedangkan Kalbar, memang heterogen tetapi tidak
setinggi di Jakarta. Di Jakarta permasalahan utamanya adalah banjir dan macet, sedangkan
di Kalbar permasalahan utama adalah agraria. Memang disamping
permasalahan-permasalahan utama itu terselip permasalahan lainnya yang tidak
kalah penting. Tetapi isu yang terjadi disetiap daerah itu, ya memang hak
pengelolaan tanah.
Isu primordial
juga merupakan strategi yang sangat ampuh dan itu tidak bisa kita bantahkan, real dalam pertarungan politik. Tetapi
dibalik itu semua, rakyat sudah paham nantinya akan memilih siapa pemimpin yang
tepat. Dan patut kita tunggu siapa calon KB1 maupun Sinka 1 yang berhasil
menerapkan strategi social imagery ala
Jokowi. Harus punya bukti bukan janji dan jangan hanya “mengkampanyekan”
primordial alias kelompok alias suku dan agama saja. Semoga tidak!!!!
terbit di PontianakPost tanggal 19 Juli 2012 kolom Opini.
BalasHapushttp://pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=113038