Rabu, 11 Juli 2012

Potret Loper Koran di Kota Pontianak

Ilustrasi

Desingan suara kendaraan yang lalu lalang di perempatan lampu merah Jalan Imam Bonjol, dan ributnya suara klakson tidak membuat Ibrahim bising menjajakan koran sambil berdiri di trotoar, dengan harapan ada pembeli yang singgah untuk membeli korannya.

“Ndak tahu lah, sampai kapan? Mungkin sudah nasib,” begitulah kata Ibrahim [43 tahun] ketika ditanya sampai kapan menjadi loper koran. Ibrahim adalah salah seorang loper koran dari puluhan loper koran yang ada di Pontianak. Lelaki yang tidak pernah menduduki bangku sekolahan ini sudah menjalani profesi menjadi peloper koran sekitar 11 tahun yang lalu.
Pria yang yang tinggal di Batu Layang itu, berangkat dari rumahnya pukul empat pagi. “Saya biasanya dengan kawan,” katanya. Sebelum menjajakan koran, Ibrahim mengambil koran yang akan dijajakan di Kantor Pontianak Post Jalan Gajah Mada dan mulai menjajakan koran pukul lima pagi sampai pukul sebelas siang.

Ditengah maraknya penjual koran, yang menggunakan kios–kios di pinggiran jalan dan mereka yang berlangganan koran tiap hari, menjadi loper koran tetap mereka jalani. Di Kota Pontianak sendiri, kebanyakan yang menjadi loper koran adalah anak–anak. Dari anak-anak itu, kebanyakan mereka adalah anak-anak yang putus sekolah. Mereka beralasan untuk membantu orang tua.

Budi seorang pembeli yang biasa membeli koran dari loper koran mengatakan, cukup terbantu kebutuhannya membaca koran. Pria yang sehari-harinya menjadi penjual ikan di Pasar Flamboyan ini tidak sempat lagi untuk berlangganan ataupun membeli koran di kios-kios pinggiran jalan.

Ketika ditanya berapa penghasilan dari menjual koran, Ibrahim mengatakan sekitar  20 ribu. Itupun kalau terjual habis. Hasil dari menjual koran itu sangatlah tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari hari. “Jangankan ditabung, untuk beli bawang saja tidak cukup,” imbuhnya lagi. Apalagi Ibrahim yang mempunyai dua orang anak, yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Anaknya yang pertama tamat SD, dan sekarang sudah masuk SMP, sedangkan anaknya yang satu lagi masih kecil berumuran sekitar 2 tahun.

Setelah menjual koran, Ia membantu istrinya bekerja di sawah. Sawah yang dikerjakan mereka pun bukanlah sawah punya mereka, tetapi mereka hanya mengerjakanya dengan bayaran Rp 150 ribu per tahun.

Ibrahim mengatakan menjadi loper koran terpaksa ia lakukan, karena susah mencari lapangan pekerjaan yang memadai. Itulah sekelumit kisah peloper koran yang biasa kita temui di perempatan jalan. Salah satu kisah masyarakat kecil, yang ada di Kota Pontianak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar